My Hero

Bicara tentang pahlawan, sudah tentu pahlawan yang seharusnya kita kagumi dan kita jadikan contoh dan idola paling utama adalah Rosulullah Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam atas pengorbanan dan perjuangan beliau sehingga kita semua (ummat islam) dapat menikmati indahnya Iman dan Islam. Betapa banyak penjelasan dari kisah heroik shiroh nabawiyah yang ditulis oleh para ulama bahwa beliau korbankan seluruh hidup beliau untuk kita islam dan kita ummatnya. Tak hanya lelahnya fisik dan laparnya perut, kucuran keringat dan air mata bahkan darah dan nyawa rela beliau korbankan untuk kita ummat-nya agar mendapat cahaya Tauhid dalam ke-Islaman yang Haq.

Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah limpahkan kepada beliau Rosulullah Muhammad sholallahu alaihi wasallam beserta para sahabat beliau, keluarga beliau, tabi’iin, tabiut tabi’iin dan seluruh ummat islam yang istiqomah menjalankan sunnah yang beliau ajarkan hingga yaumul akhir.

My Mother is My Hero (Ibuku Pahlawanku)

Namun yang ingin saya ceritakan pada kali ini adalah beliau yang menjadi My Hero dalam kehidupan saya, beliau yang berjuang dengan keringat, darah dan air mata demi kebahagiaan kami (anak-anaknya), ya beliau adalah The Real Hero of My Life, beliau adalah “Ibu Saya” (saya memanggilnya dengan panggilan Biyung, panggilan banyumas anak kepada ibunya).

Betapa saya sangat menyayangi dan mengagumi beliau, maka saya tuliskan auto biografi beliau yang penuh dengan perihnya kehidupan sebagai pelajaran bagi saya dan anak cucu saya kelak.

✅ KELAHIRAN BELIAU DAN DITINGGAL OLEH KAKEK DIUSIA BALITA 8 BULAN

Terlahir menjadi anak perempuan pertama dari pasangan Kakek Tarmuja (asal : Arca) dan Nenek Sumini (asal : Kebanggan) pada tahun 1962 Masehi. Belumlah lagi beranjak besar beliau harus merasakan pedihnya ditinggal oleh ayah (kakek saya) di usia balita 8 Bulan, karena kakek memutuskan untuk menceraikan nenek saya pada saat itu. Sampai tulisan ini dibuat, tidak diketahui alasan perceraian antara kakek dan nenek saat itu.

✅ MASA REMAJA HINGGA PERNIKAHAN

Masa remaja yang lazimnya menjada masa-masa indah penuh dengan kebahagiaan, penuh suka cita dan pencarian jati diri. Bagi beliau masa remaja dilalui beliau penuh dengan perjuangan dan kerasnya kehidupan. Bagaimana tidak, pada saat remaja beliau harus sudah menjalani profesi sebagai pedagang aneka jajan pasar (gethuk, gorengan, cenil, awug-awug dll) sejak usia beliau 14 tahun karena kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan. Beliau harus berjalan kaki sepanjang +/- 6 Km Pulang-Pergi setiap harinya dari Ds. Kebanggan (Grumbul Randegan) menuju ke lokasi berjualan ke Pasar Kotayasa.

Rute PerjalananGambar disamping menunjukkan perkiraan jarak yang harus ditempuh oleh Ibu saya dengan berjalan kaki. Bagi yang sudah mengetahui rute tersebut, rute tersebut bukanlah rute yang landai atau mudah ditempuh. Saya pribadi pernah mencoba mengakses rute tersebut dengan menggunakan kendaraan mobil, dan akhirnya menyerah karena curamnya jalan yang harus saya tempuh. Sepanjang jalan ini cukup banyak tanjakan dan turunan serta berkelok. Untuk melihat rute tersebut secara live silahkan klik link ini melalui google map.

✅ DITINGGAL IBUNDA (NENEK SAYA) DIUSIA 17 TAHUN

Pada waktu usia kakak perempuan pertama saya berusia 3 bulan sekitar tahun 1979, beliau harus kehilangan Ibu beliau (baca : Eyang Saya). Sosok Ibu yang amat beliau sayang untuk selama-lamanya. Saya mengenalnya dengan nama Eyang Sumini, beliau wafat di Jakarta karena serangan Jantung. Hal yang sangat berat pada saat itu adalah karena Ibu saya tidak dapat melihat pemakaman Eyang Sumini. Karena Eyang wafat di Jakarta, dan Ibu saya berada di Purwokerto. Dan pada saat itu Ibu saya belum pernah sama sekali pergi ke Jakarta. Moment kehilangan yang sangat menyakitkan menurut saya, karena tidak dapat bertemu sebelum dimakamkan. Pada saat itu saya belum terlahir ke dunia, maka saya tidak berjumpa dengan Almarhumah Eyang Perempuan Saya Sumini semoga Allah merahmatinya di Alam Kubur

✅ MENITIPKAN SAYA KE NENEK ASUH DAN KEPUTUSAN MERANTAU KE JAKARTA

Sebagaimana cerita yang saya tuliskan pada catatan Masa Kecil, bahwa pada usia 2,5 tahun atau sekitar tahun 1986 saya dititipkan untuk diasuh oleh Nenek Asuh,  karena faktor ekonomi. Ayah saya merasa sudah tidak mampu lagi menafkahi kami karena kondisi beliau yang mengalami kebutaan permanen (tuna netra) dan penyakit yang beliau derita. Sebuah percakapan dengan dialek banyumas antara ayah dan ibu saat itu kurang lebih seperti ini :

Ayah Saya : “Udin dititipna maring Ibune (Nenek) bae ya?”
Ibu Saya : “Emang kenangapa sih?”
Ayah Saya : “Kan ko ngerti dewek, aku wis ora bisa usaha (sambil nangis)”
Ibu Saya : “(walaupun awalnya menolak, akhirnya ibu saya menerima keputusan tersebut walaupun amat berat dan penuh derai air mata)”

Dan pada saat itu saya dibawa oleh Nenek Asuh ke Jakarta, karena memang sehari-hari Nenek saya berprofesi sebagai pedagang di salah satu sekolah di Jakarta. Mengetahui hal tersebut Ibu saya berinisiatif untuk ikut ke Jakarta karena tidak tega, begitulah hati nurani seorang Ibu. Tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya jauh dari sisinya.

Selama di Jakarta, Ibu saya membantu Nenek dalam berdagang. Hingga pada akhirnya Ibu saya memutuskan mencari pekerjaan lain. Sempat menjadi ART di daerah Pondok Bambu, di rumah kediaman Alm. Drs. H. Kahari Siswoyo (Kepala Sekolah Mts 7 Sudirman pada masa itu sekitar tahun 1986/1987)

✅ MENJADI “SINGLE PARENT” DIUSIA 26 TAHUN

Pada pertengahan tahun 1988, bertepatan pada saat saya didaftarkan sekolah TK (Taman Kanak-Kanak) oleh Nenek Asuh ada kabar melalui sambungan telp jarak jauh (SLJJ/Interlokal), bahwa suami beliau (ayah saya) meninggal dunia diusia 31 tahun, karena penyakit yang beliau derita sekian lama. Sebagaimana kesedihan yang pernah terjadi pada saat Eyang Sumini wafat, hal itupun terulang kembali saat ayah saya meninggal dunia. Beliau tidak dapat berjumpa untuk terakhir kalinya sebelum jenazah dimakamkan. Karena ayah saya meninggal di Purwokerto disaat Ibu saya sedang mencari nafkah di Jakarta. Dan pada tahun tersebut (1988) Ibu saya resmi menjadi JANDA dan saya pun menjadi YATIM, semoga Allah rahmati ayahanda di alam kuburnya. Aamiin

✅ MENJADI PEDAGANG NASI SELAMA 28 TAHUN DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN

Foto tahun 2016, disebelah pool warga baru didekat pintu teriminal arah ciracas/bungur

Setelah +/- 6 Tahun Ibu saya berprofesi sebagai ART dan berpindah-pindah majikan, suatu ketika mendapatkan kabar pada sekitar wal tahun 90an (1992 – 1993) bahwa ada pembukaan Terminal Kampung Rambutan didearah Jakarta Timur yang merupakan perpindahan dari Terminal Cililitan pada masa itu. Ibu saya memulai peruntungan baru di Terminal Kampung Rambutan dan beralih profesi menjadi pedagang nasi kaki lima yang kerap kali diusir dan dikejar kejar petugas Terminal karena pada awal kali berdagang Ibu belum punya cukup uang untuk menyewa kios/warung di Terminal Kampung Rambutan. Dan Alhamdulillah sekitar tahun 2000an Ibu diberikan kemudahan dapat meyewa Kios/Warung Nasi sehingga bisa berjualan dengan tenang tanpa khawatir akan dikejar-kejar petugas Patroli Terminal. Namun waktu tenang itu tidak bertahan lama, karena tiba-tiba ada instruksi dari Kepala Terminal bahwa kios yang dulu ditempati akan digusur dan dijadikan lahan hijau. Maka Ibu pun harus kembali berdagang bukan dikios/warung melainkan ditempat-tempat yang terbuka seperti gambar diatas dan itu terus berlangsung sampai dengan tahun 2021.

Satu hal yang membuat saya takjub dengan keteguhan Ibu dalam menjemput rizqi adalah beliau tidak pernah berputus asa dengan apapun hasil penjualan pada hari yang telah berlalu dan tidak khawatir dengan penjualan hari yang akan datang. Perkataan beliau yang terekam jelas dalam ingatan saya adalah “Sing penting mangkat ndagang, urusan payu ora payu ya urusane gusti Allah. Kabeh mau wis ana rejekine dhewek-dhewek” (artinya : Yang penting terus berjualan, perkara dagangan laku atau tidak semua kehendak Allah. Rejeki semua makhluk sudah diatur)

✅ KEMBALI KE KAMPUNG HALAMAN

Usia beliau semakin tua dan sepuh, namun tidak sedikitpun ada keinginan beliau untuk pensiun dan mengakhiri perjalanan beliau menjadi pedagang nasi yang sudah beliau tekuni selama kurang lebih 28 tahun di terminal kampung rambutan mungkin itulah yang disebut passion, beliau menjalani profesi tersebut dengan sepenuh hati. Sedih hati ini karena beliau harus tinggal sendiri dirumah kontrakan berukuran sekitar 2,5 meter x 5 meter diarea dekat terminal. Berkali-kali saya tawarkan untuk tinggal bersama keluarga kecil saya di daerah Cileungsi, namun beliau selalu menolak dikarenakan beliau tidak betah dan sudah sangat nyaman dengan lingkungan yang beliau tempati. Tepat ditahun 2021 usia beliau sudah beranjak di 59 tahun, usia yang tidak lagi muda untuk seorang perempuan paruh baya yang masih terus berjuang mencari nafkah.

Sampai pada akhirnya tragedi pandemi Covid menyerang Jakarta pada tahun 2020 yang membuat laju perekonomian hampir disemua sektor luluh lantak tidak terkecuali pedagang nasi kecil seperti Ibu saya. Kebijakan lockdown membuat terminal sangat sepi dan tidak ada pembeli. Sekalinyapun ada pembeli, yakni pengurus dan pekerja PO Bus pun terkadang berhutang karena pemasukan merekapun minus. Sebulan dua bulan tiga bulan dan sampai sekitar enam bulan akhirnya dengan kondisi yang sudah tidak normal ditambah usia Ibu yang semakin bertambah akhirnya dengan berat hati Ibu memutuskan untuk PENSIUN dan kembali pulang ke kampung halaman (Purwokerto) tinggal bersama Kakak No.2 yang juga sudah mendahului pindah ke kampung saat awal covid melanda. Kesedihan begitu terlihat diraut muka beliau saat berpamitan dengan tetangga sekitar yang sudah saling berinteraksi 20tahun lebih, seperti berat beliau meninggalkan terminal kampung rambutan. Namun kami anak-anaknya menguatkan beliau karena pertimbangan usia beliau yang juga sudah sepuh (menginjak masuk 60 tahun)

Alhamdulillah sampai dengan tulisan ini dipublish, beliau sudah menetap dikampung halaman dan menikmati masa tua dengan membersamai Kakak Pertama dan Kakak Kedua beserta keempat cucunya dikampung. Sedangkan saya terus berjuang di kota metropolitan dalam ikhtiar mencari rizqi yang halal agar bisa bermanfaat untuk orang-orang yang saya sayangi salah satunya Ibu Saya. Dalam kurun maksimal 2 bulan sekali biasa saya agendakan menjenguk Ibu Saya untuk melepas rindu, dan itulah momen yang paling membahagiakan dalam hidup saya karena bisa membersamai Ibu Saya hanya untuk bercerita banyak hal, atau mendengarkan cerita dari beliau:)

Semoga Allah berikan keberkahan diusia beliau, dikaruniai kesehatan dan kecukupan. Istiqomah dalam ketaatan kepada Allah azza wajalla sampai akhir usia. Aamiin

I Love You Mom

 

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top